Dosen penguji saya saat sidang thesis april lalu bertanya, mengapa kau angkat tema pengelolaan sampah terpadu ini?
Saya cuma bisa tersenyum saat mengenangnya. Tema ini diangkat karena saya sudah frustasi. Frustasi karena tema yang saya ajukan ke ketua prodi S2 Teknik Industri USU selalu ditolak. Entahlah, mungkin saya yang gak berhasil mempresentasikan ide penelitian tersebut.
Setidaknya ada 7 tema yang sudah saya ajukan dan berujung dengan penolakan. Dan tema sampah adalah tema ke 8.
Ya ditengah rasa frustasi itu saya ketikkan “sampah” di kolom pencarian google. Entahlah mungkin karena ada rasa marah di dalamnya.
Lalu bermunculanlah banyak sekali file pdf (umumnya file pdf itu adalah jurnal internet) yang merupakan hasil penelitian tentang sampah. Saya donlot satu persatu dan pelajari.
Ternyata banyak juga yang sudah meneliti tentang sampah, terutama sampah perkotaan.
Dari jurnal yang saya baca, saya menemukan bahwa permasalahan sampah berhubungan dengan proses ‘pengangkutan’ dari sumber sampah (masyarakat dan fasilitas sosial) ke tempat pembuangan akhir.
Jarak tempuh + waktu tempuh = biaya pengangkutan
Logikanya, semakin jauh jarak antara sumber sampah ke TPA maka waktu tempuh semakin besar. Biaya angkut semakin tinggi. Selain itu ritasi juga terbatas sehingga jumlah sampah yang terangkut juga terbatas.
Jika ingin mengangkut sampah lebih banyak maka armada sampah harus ditambah sehingga kapasitas angkut sampah sebanding dengan total produksi sampah masyarakat setiap harinya.
Dari gambaran ini muncul Ide awalnya yaitu saya harus memperbaiki rute pengangkutan sehingga didapat rute terpendek dan ini akan menghemat waktu pengangkutan, menambah jumlah ritasi kendaraan (ritasi adalah pergi pulang dari sumber sampah ke TPA).
Jumlah ritasi bertambah maka jumlah sampah yang diangkut semakin banyak, kemudian persen pelayanan meningkat dan pada akhirnya mengurangi biaya total.
Persen pelayanan sampah pemerintah = Jumlah sampah terangkut ke TPA / Jumlah Timbulan sampah
Ide awal ini saya buatkan power poinnya lalu saya presentasikan.
Kesan awal ketua prodi, beliau setuju dan kita akan lanjutkan diskusi lebih dalam setelah presentasi awal ini. Presentasi selanjutnya sudah makin mengerucut dan beliau agaknya kasihan ke saya, beliau bilang
“Kau sudah lama ya?”
“Iya pak, sudah lama kali.”
Sudah hampir tiup lilin pertama ni pak, dalam hati saya berkata. Karena kasihan itu beliau setujui saja tema sampah saya dan memberikan dua orang pembimbing. Saya sedikit lega, karena tantangan di pembimbing tidak terlalu sulit, biasanya.
Lama di ka prodi, di pembimbing ternyata lama juga. Hehe
Berbeda dengan ka prodi, kalau di pembimbing memang lama di sayanya. Kesibukan di distributor madu : refillmadu.com dan keinginan garap-garap project selain madu seperti percetakan (usaha lama) konveksi dan atap baja ringan membuat konsentrasi buyar lagi.
Akhirnya saya putuskan, fokus ke kegiatan jual madu saja, yang lain nanti setelah selesai.
Sampah adalah Sumber Daya Terpendam
Dalam perjalanan penelitian saya ini, saya menemukan banyak hal dari sampah ini.
Ya, sampah ternyata merupakan salah satu sumber daya yang jika dimanfaatkan akan memberikan dampak yang baik dan berkelanjutan bagi masyarakat.
Tidak seperti yang kita persepsikan selama ini, Sampah : kotor, bau, harus di buang jauh – jauh.
Konsep pengelolaan sampah terpadu ini tidak lagi menerapkan paradigma lama yaitu Kumpul – Angkut – Buang.
Ide awal penulisan tesis ini berfokus pada paradigma lama, karena fokus saya adalah bagaimana memperpendek rute pengangkutan sampah dari sumber ke TPA.
Inipun berdasar pada penelitian di Turki yang menyatakan bahwa 85% biaya sistem pengelolaan sampah kota itu ada di pengangkutannya. Jika kita berhasil mengoptimisasi sub sistem ini, maka kita akan berhasil mengoptimisasi sistem secara keseluruhan.
Dengan perkembangan kota dewasa ini, perbaikan sistem persampahan yang berfokus pada TPA (tempat pembuangan akhir) yaitu dengan memperbaiki rute pengangkutan sampah dari sumber ke TPA menjadi tidak relevan lagi.
Pertama kondisi jalan kota yang semakin padat, sehingga waktu tempuh ke TPA akan menjadi sangat lama, lebih tepatnya tidak dapat diprediksi, kedua daya tampung TPA sendiri yang akan mengalami penurunan, sementara mencari tanah kosong yang luas di perkotaan menjadi masalah yang lain lagi.
Untuk itu, perlu pengembangan sistem pengelolaan sampah kota yang awalnya fokus ke TPA menjadi pendekatan secara terpadu.
Hasil yang akan dicapai antar lain :
- Jumlah timbulan sampah ke TPA berkurang, sehingga beban TPA menjadi berkurang,
- Pemanfaatan sampah sehingga memiliki nilai ekonomi, tidak seperti saat ini : hanya dibuang,
- Kesadaran masyarakat akan bahaya sampah jika tidak dikelola dengan baik menjadi meningkat.
Pengelolaan Sampah Perkotaan secara Terpadu
Saya menemukan di beberapa negara maju dan untuk contoh dalam negeri saya menemukan kota Surabaya yang telah menerapkan konsep pengelolaan sampah kota secara terpadu (integrated municipal waste management)
Pengelolaan sampah terpadu fokusnya adalah bagaimana proses pengelolaan sampah dimulai dari tingkat sumber penghasil sampah.
Dimulai dengan pemilahan sampah organik dan anorganik, lalu sampah organik dikomposkan melalui komposter mandiri atau rumah kompos (per lingkungan), sampah anorganik yang memiliki nilai ekonomi seperti plastik, kertas, besi dan sejenisnya, dijual ke penampung barang bekas atau melalui bank sampah
Di beberapa negara maju, sampah yang dihasilkan masyarakat sudah diolah menjadi energi. Bahkan di Swedia, mereka harus mengimpor sampah dari negara lain untuk memastikan mesin pembangkit listrik berbahan bakar sampah mereka tetap beroperasi.
Bicara soal sampah di Swedia, teringat kawan yang sedang studi disana. Ia dan keluarganya bertahan hidup di Swedia dengan menjadi pemulung sampah. Karena memang sampah dihargai mahal disana.
Teman saya ini cerita soal komen istrinya saat dibawa ke sana, kebetulan mereka baru menikah, kata istrinya : jauh jauh dibawa ke swedia cuma untuk jadi pemulung…
Berdasarkan hasil riset sebelumnya, 60-70% sampah perkotaan adalah sampah domestik atau sampah yang dihasilkan oleh masyarakat pemukiman.
Sehingga jika kita dapat mengendalikan sampah domestik maka proses pengelolaan sampah kota menjadi lebih ringan.
Konsep pengelolaan sampah terpadu mengedepankan konsep 3R (Reduce, Reuse dan Recycle). ini berarti pengelolaan sampah dari tingkat sumber seharusnya dikurangi, mengedepankan produk yang dapat digunakan kembali atau produk tersebut dapat didaur ulang.
Nah, dalam prakteknya ada 3 komponen utama dalam masyarakat harus terlibat jika ingin pengelolaan sampah terpadu ini berjalan baik. Pertama masyarakat sendiri bersama tokoh masyarakatnya, dan pemerintah sebagai regulator.
Mengapa tokoh masyarakat perlu dilibatkan?
Di beberapa daerah ternyata peran tokoh masyarakat sangat signifikan pertama sebagai teladan, kedua sebagai jembatan komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Di medan, sayangnya tokoh masyarakat belum mengambil peran yang besar. Setidaknya dari survey yang saya lakukan terhadap 100 warga di 14 kecamatan kota Medan menyatakan peranan tokoh masyarakat belum signifikan.
Rancangan Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu di Kota Medan: Versi Saya
Setelah melakukan perenungan panjang, akhirnya saya memutuskan untuk segera menyelesaikan tesis yang sudah berlarut-larut hingga 3 tahun. Untuk tema sampah sendiri sudah lewat dari 1 tahun.
Usulan yang saya ukur di dalam tesis ini adalah bagaimana kita masyarakat medan mencoba untuk menerapkan konsep 3 R di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Yaitu dengan melakukan proses pemilahan sampah di rumah, kelompokkan menjadi dua saja : Organik dan anorganik.
Sampah organik kita kumpulkan ke komposter mandiri berkapasitas 3 Meter kubik yang dikelola secara swadaya per lingkungan. Untuk alat komposternya kita harapkan pemerintah menyediakannya. Proses komposting berlangsung selama 2-3 minggu. Kompos yang dihasilkan dapat dijual seharga 300-500 rupiah perkg.
Sedangkan untuk sampah anorganik, yang dapat didaur ulang seperti plastik, kertas, besi dan sejenisnya. Dikumpulkan di Bank Sampah yang harapannya juga tersedia di setiap lingkungan (kalau di jawa per RW mungkin ya…). Masing-masing masyarakat punya “akun” di bank sampah, sampah yang mereka kumpulkan dihitung nilainya dan setiap 3 bulan dapat dicairkan.
Selain di cairkan dapat juga di jadikan sebagai ‘asuransi’ kesehatan, biaya bimbel anak dan lain lain. Seperti cerita seorang dokter yang menjadikan biaya berobat ke kliniknya dengan membawa samaph yang dapat didaur ulang.
Peran pemerintah sebagai regulator dan juga edukator ke masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah rumah tangga sejak awal. Jika perlu buat regulasi yang “memaksa” masyarakat untuk terlibat aktif.
Seperti di Kota Depok yang mewajibkan warga untuk memilah sampah di rumahnya, jika tidak maka sampah mereka tidak akan diangkut oleh petugas sampah keliling.
Pemulung tetap dimanfaatkan perannya dalam memilah sampah di tempat penampungan sementara. Pemerintah perlu juga mengedukasi mereka agar tidak hanya memilah sampah yang memiliki manfaat untuk mereka saja, tapi juga sampah organik dan anorganik.
Sampah Untuk Energi
Isu tentang sampah untuk energi sudah mengemuka dalam beberapa tahun ini. Dibeberapa maju di Eropa telah menerapkan hal ini. Sementara di negara berkembang seperti indonesia, sedang menuju ke sana.
Surabaya sudah mulai menerapkan di beberapa TPS saat ini sudah mulai menghasilkan listrik yang dapat dinikmati warga.
Nah bagaimana dengan medan?
Pernah saya tanyakan ke ketua bank sampah sumatera utara, kelemahan sampah di medan ini adalah kadar airnya yang tinggi. Sehingga akan sangat sulit jika program sampah untuk energi diterapkan. Energi yang dihasilkan akan habis untuk mengeringkan yang ada.
Hal ini tentu akan sangat menarik jika dikaji lebih jauh. Berdasarkan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Medan, produksi sampah harian per kapita adalah sebesar 0,7kg. Artinya jika saat ini penduduk kota medan sebanyak 2,1 juta maka ada sekitar 1400 ton sampah yang dihasilkan setiap hari.
Kesimpulan
Saya melakukan simulasi atas rencana pengembangan sistem pengelolaan sampah terpadu Kota Medan yang saya sebutkan di atas. Yaitu pengembangan komposter mandiri dan pendirian bank sampah.
Hasilnya, dengan jumlah komposter sebanyak 2000 unit dan bank sampah 2000 unit (angka ini di dasarkan pada jumlah lingkungan di Kota Medan) reduksi sampah yang masuk ke TPA dapat dikurangi sebesar 13,5 %/ tahun, kebutuhan truk pengangkut sampah juga berkurang serta ada penghematan sebesar 18 Milyar setiap tahunnya.
Sedangkan sampah untuk energi, perlu kajian lebih lanjut.
Inilah cerita saya tentang rencana pengembangan sistem pengelolaan sampah terpadu di Kota Medan. Kita berharap kota ini semakin bersih, sehingga masalah lingkungan seperti banjir, bau yang tak sedap, kesehatan dan lain lain dapat diatasi secara bertahap dan berkesinambungan.
Aamiin
Salam
Bag Kinantan
Be First to Comment