Keliling Sumatera Bagian Pertama : Perjalanan Medan Ke Pekanbaru
Ada sedikit kendala dengan rencana perjalanan keliling sumatera kami (Medan ke Lampung pp dari jalur berbeda). Supir yang sudah penyanggupi bisa ikut di hari kedua syawal tetiba membatalkan keikutsertaan. Beliau bilang hari keempat aja. Ya..kalau hari keempat mah, banyak kawan saya yang bisa nyupir mau ikut. dan mereka mau tanpa dibayar, dibayar juga nolak.
Berhubung perjalanan ini sudah direncanakan jauh hari, saya dan istri memutuskan untuk terus berangkat. Jadi yang seharusnya saya hanya co-driver menjadi driver utama dan istri yang awalnya cuma jaga anak-anak, naik jadi co driver.
Sebuah pertaruhan hehe, istri memang bisa mengendarai mobil, tapi tidak untuk jarak jauh dan tidak di jalan lintas Sumatera yang terkenal ganas.
Saya biasa keliling Aceh atau keliling Sumatera Utara dan itu sebagai driver utama. Cuma untuk perjalanan antar kota antar provinsi jelas beda suasana dan medannya. Itu yang jadi pertimbangan.
Istri cuma bilang, “ayo bismillah kita berangkat, i believe in you.”
Memilih Berangkat Malam
Sebelumnya kami merencanakan untuk berangkat di pagi hari, pada 2 syawal. Karena supir yang rencananya ikut batal, kita ubah jadwal. Saya putuskan berangkat malam saja.
Kenapa? pertama saya lebih suka main di malam hari, sepeda motor lebih sedikit dan yang di jalan adalah mereka yang memang sedang menempuh jarak jauh. Biasanya sesama pejalan jauh lebih ada saling respect dan saling menjaga.
Kedua, sunnahnya memang kalau melakukan perjalanan itu bagusnya malam. Kalau tidak salah ada hadist yang menyatakan bahwa kalau malam bumi itu dilipat dan jarak menjadi lebih dekat dari biasanya.
Kami berangkat di awal 2 syawal (karena perhitungan hari dalam penanggalan hijriah dimulai maghrib). Sekitar pukul 21.00 WIB. Start dari kampung suka sari pegajahan Serdang Bedagai Sumatera Utara.
Rute perjalanan malam ini adalah Suka Sari – Dolok Masihul – Tebing Tinggi – Kisaran – Rantau Prapat – Kota Pinang – Duri – Pekanbaru.
Dalam perhitungan saya, kami bisa mengejar sarapan di DURI. Tapi manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang menentukannya. Sampai di Kota Pinang, Kantuk luarbiasa menyergap saya. Kami cari SPBU, lalu Tidur Sejenak.
Memang, pukul 03.00 dinihari hingga menjelang subuh adalah masa-masa kritis. Jika memang kita kurang istirahat di siang hari, maka jam – jam ini adalah saat-saat paling berat. Saran saya sebaiknya cari tempat istirahat yang aman, jika di jalan lintas, pilih SPBU, Masjid atau rumah makan yang buka 24 Jam.
Percuma minum kopi, gak akan membantu. Obat kantuk cuma satu. TIDUR. Tidak perlu lama, kadang cukup 30- 60 menit tapi deep sleep ya. Kantuk hilang dan kita kembali segar.
Kembali Ke Kota Pinang tadi, saya tertidur pulas selama kurang lebih 75 menit, terbangun karena azan subuh, lalu mencari mushola untuk sholat. Berhubung SPBU yang kami singgahi ini musholanya tidak buka, kami mencari mesjid terdekat. Dan Alhamdulillah dapat.
Malam itu kami singgah di SPBU Blok Songo dan sholat shubuh di Masjid Baiturrahman Blok Songo
Rerata memang, satu supir itu idealnya maksimal 8 jam sehari. Jika lebih akan berpotensi untuk kecelakaan. Kalau jalan ke Aceh atau di daerah sekitar Sumatera Utara, saya bersama seorang kawan, kami berganti peran per 5-6 jam perjalanan. Tapi pernah juga saya nyupir lebih dari waktu normal. hehe, gak ada gantinya soalnya.
Kota Pinang – Duri
Saya mengejar Duri karena memang Kota ini adalah salah satu kota yang lumayan rame di Riau. Di kota ini berdiri perusahaan tambang milik Amerika yaitu Chevron. Perusahaan ini sudah menyedot minyak Riau sejak tahun 1970-an dan kontraknya masih diperpanjang untuk mengeruk beberapa ladang minyak lagi di daerah Riau.
Selain karena ini kota ramai, secara umum penduduknya banyak orang Padang (minang), jadi seleranya masakannya bakal cocok dengan lidah saya. hehe
Sekitar pukul 6 pagi saya bergerak lagi dari Kota Pinang, menyusuri jalan perkebunan hingga perbatasan Sumatera Utara Riau : Torgamba. Masuk Provinsi Riau dari kecamatan Bagan Sinembah. Jalan di daerah Riau (Lintas Timur Sumatera) umumnya lurus – lurus aja. Sekitar pukul 8 pagi, kantuk datang lagi. Saya bilang ke istri “dek, lanjutkan ya sebentar, kakak mau tidur dulu sekejap.” Jalan yang relatif lurus sampai simpang ujung tanjung (lurus ke dumai, ke kanan arah duri/ Simpang Bangko).
Sejam kemudian saya terbangun. si abang hafizh minta ‘pipis’, karena spbu, masjid, rumah makan masih jauh, kami tepikan mobil dan selesailah hajatnya.
Saya kembali ke balik kemudi. Sampai di Duri sekitar pukul 10.an pagi, ada beberapa rumah makan ampera yang buka, kami pilih salah satu.
Menurut sejarahnya, nama ampera itu diambil dari singkatan “amanat penderitaan rakyat” itu sebabnya sejak dahulu nasi ampera terkenal murah meriah. Dan benar saja, saat kami makan di Duri, tagihannya cuma 58 ribu. Coba bandingkan dengan rumah makan padang lain yang menggunakan sistem ‘hidang’. 58 ribu ini untuk makan 3 orang dewasa dan 2 anak, plus teh manis dan jus aplukat.
Duri – Pekanbaru
Seperti sudah saya sebutkan di artikel sebelum ini (Persiapan Keliling Sumatera), kami memilih rute ini karena memang jalur paling mudah dan ramai. Mudah dalam artian medannya tidak terlalu sulit, untuk istri yang belum punya pengalaman membawa mobil di jalan lintas, bisa jadi sarana latihan (pemanasan).
Alasan kedua adalah di Pekanbaru ada paman saya yang sebelumnya menolak ikut karena anaknya mudik dari jakarta.
Jadi, kami bisa istirahat, makan dan mandi.
Jalur Duri – Pekanbaru tidak terlalu sulit juga, walau berbukit tapi tidak harus berkelok-kelok seperti di daerah pegunungan. Ditambah sekarang jalannya sudah lebih baik (di cor). Jika sebelumnya saat masih aspal, kontur jalannya bergelombang karena di hajar kendaraan bertonase tinggi.
Sekitar pukul 12 lewat kami tiba di rumah paman saya. Rencana awal : istirahat, mandi, makan.
Paman saya ini adalah pensiunan supir bus lintas sumatera jawa. Terakhir beliau menjadi supir utama di bus Famili Raya, Jurusan Muaro Bungo – Solo. Sebelumnya beliau lama menjadi supir di bus Siliwangi Antar Nusa. Sejak 1995 – 2015. Beliau pensiun dini dari karir supirnya karena mengalami sakit pinggang hebat di tahun 2015. Sekarang aktifitasnya bertani di kampung kami di kaki gunung merapi sumatera barat.
Sejak kuliah saya biasa menumpang bus beliau kalau pulang ke Lampung. Untungnya ikut supir : ongkos dan makan gratis. Cuma konsekuensinya kita gak dapat tempat duduk (kalau bus penuh) dan mesti bantu-bantu di bus (jadi kernet).
Setelah selesai berbersih dan Makan siang, kami bersiap untuk berangkat lagi.
Tiba-tiba tanpa di komandoi, hafizh yang kebetulan kenal baik dengan paman saya ini bilang, “Tuk (panggilan untuk kakek : Datuk/ Atuk), Atuk ajalah yang nyupir mobil hafizh ke Lampung.”
Kami terdiam sejenak, karena memang tidak menduga hafizh akan mengatakan hal tersebut. Sekitar januari 2017, saya dan keluarga kebetulan liburan di sumatera barat, keliling- keliling selama 4 hari. Istirahat di Payakumbuh, menyusuri berbagai daerah wisata di Sumatera Barat. Seperti Istana Pagaruyung, Desa Pariangan (desa terindah di dunia), dan daerah wisata utama di sumatera barat. Dan supir dalam perjalanan ini, paman saya yang saya ceritakan ini.
Nyess…tak sampai hati paman saya ini mungkin, di minta cucunya langsung. Sayapun kaget karena memang tidak ada rencana mengajak paman saya ini ikut. Beliau sudah bilang sejak awal. Singgah hanya untuk istirahat dan makan.
“Onde ibo lo hati den mancaliak anak kemenakan baduo jo bininyo, nyupir ka lampuang…” itu kalimat yang paman saya katakan ke ibu saya saat sampai di Lampung. Gak sampai hati beliau lihat saya berdua dengan istri nyupir berdua aja ke Lampung.
“Baa merry, Apa (papa) pai jo da (uda) Ibek ka Lampuang?”
“Dek Apa talok pai lah…ndak baa.” jawab Merry. Merry ini yang jadi alasan paman berat untuk menerima pinangan saya di awal. Anak sulungnya ini pulang setahun sekali, hanya saat lebaran. Tapi, selama 2 hari Merry di rumah, paman saya memang menghabiskan waktunya bersama anak-anaknya. hari itu adalah hari minggu, kebetulan senin Merry sudah harus berangkat ke Jakarta untuk kembali masuk kerja di hari selasa.
Bibi sayapun sejak hafizh minta datuknya ikut langsung mengemas baju suaminya.
Alhamdulillah… Gak jadi kami menerjang Lintas Tengah Sumatera berdua saja. Karena setelah ini medan lebih sulit, jalan berbelok, hutan lindung, hujan, licin belum lagi kalau ada masalah di mobil semisal ban bocor dan lain lain.
Memang doa orang safar itu makbul.
sekitar pukul 15.00 waktu Pekanbaru, kami lanjutkan perjalanan ke Taluk Kuantan, jalan potong dari lintas timur ke lintas tengah sumatera.
Inilah cerita keliling sumatera bagian pertama kami, masih sepertiga dari total perjalanan Medan – Kotabumi Lampung.
Bersambung
*) gimana merry, papa pergi dengan bang ibek (nama kecil saya) ke lampung?
**) kalau papa sanggup ya gakĀ apa apa pergi…
Be First to Comment